POSTAR News

Bocah Reformasi  

Rabu

Cerpen SMART Bulletin

Oleh: Muttaqien *

POSTAR - Mohon perhatian! Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara. Pemilu Presiden sebentar lagi. Saatnya kita memilih. Jangan sampai salah pilih nanti, karena pilihan kalian akan menetukan masa depan bangsa ini.”

“Upp... Jangan lupa, pilihlah saya! Karena saya akan memenuhi semua permintaan kalian, saya punya segalanya. Oleh karena itu cobloslah nomor 4!”

Suasana di ruang tamu siang itu seketika berubah heboh mendengar celetukan adikku yang baru saja pulang sekolah Madrasah Persada bersama Ibuku. Saya, Fahmi, Adul, Nia dan Vifi yang kebetulan sedang konsentrasi menyelesaikan tugas kuliyah malah menjadi tak karuan, ikut memalingkan memperhatikan dan menertawakan aksi adikku.

Saya sendiri juga heran, akhir-akhir ini dia senang sekali dengan kalimat-kalimat politik. Kalimat yang ia dapatkan entah dari mana. Aku tidak begitu faham. Ketika menjelang makan. Ketika ingin tidur, dan bahkan ketika di kamar mandi ia selalu mengucapkan kalimat yang sama, “Aku ingin menjadi presiden!” Tapi di satu sisi saya juga bangga karena adik saya punya cita-cita yang sangat tinggi.

Perkara bias tercapai atau hanya sekedar menghayal, tidak apa-apa. Punya keinginan paling tidak membuat ada arah yang pasti pendidikannya ke depan di tengah persaingan dunia yang semakin ketat ini.


“Adikku mau jadi pemimpin ya?” Tanyaku manja.

“Ya, memangnya nggak boleh ya, Kak?”

“Boleh dong… cita-cita kamu bagus kok. Kakak sangat mendukung.”

“Ya, bagus, baguuss….,” tanggap Vivi sambil mengacungkan dua jempolnya ke arah Faruq.

“Tapi, kenapa Faruq mau jadi pemimpin? Pemimpin itu kan banyak kerjaannya,” tambah Nia lambat.
Faruq spontan menjawab.

“Karena aku sudah capek diperintah! Disuruh Ibu ke warung. Disuruh Ayah belajar. Disuruh kakak ngangkat air minum. Disuruh nenek kesitulah, kesinilah! Capek dong, makanya Faruq mau jadi pemimpin aja.”

“O, jadi adik pikir pemimpin itu tukang kasih perintah, gitu?” responku tegas.

“Bukan Cuma tukang perintah, Kak! Tukang larang juga. Tidak boleh tidur larut malam. Tidak boleh main di luar pagar. Tidak boleh main PS lama-lama. Banyak tidak boleh yang lain. Cape dehh….”
Gelak tawa teman-temanku pun kembali membahana. Memenuhi ruangan. Memantul hingga menerobos tirai hijau yang terpampang rapih di jendela-jendela dan pintu kamar. Suara temanku Adul begitu.

Tak berapa lama suasana hening. Faruq ingin melangkah menuju dapur. Namun, Fahmi kembali bertanya kepada adikku.
“Berarti selama ini Faruq nggak bebas ya di rumah ini?
“Persisi!”
Spontan saya terkejut.

Jawaban yang cukup singkat itu telah berhasil membuat bulu kudukku berdiri, hingga terasa sejuk ke ubun-ubun. Jantungku berdegub kencang, membuat darahku mengalir deras ke seluruh tubuh. Begitu galau begitu dingin. Saya langsung meraih tangan Faruq dan mendekatkannya ke tempat dudukku. Sejak seminggu ini saya sudah merasakan merasakan ada gelagat yang tidak beres dengannya. Namun hal itu saya anggap tidak penting. Tapi kali ini ia sudah berlebihan. Dan ini adalah saat yang tepat untuk meluruskannya. Ia meronta-ronta, namun saya berusaha menahannya.


“Dik, coba dengar Kakak! Adik nggak boleh ngomong seperti itu lagi ya… Sama Ayah, Ibu, Nenek atau siapa aja. Itu nggak sopan namanya. Kamu pikir pemimpin itu raja bebas apa?”

“Ya dong, Kak. Kalau tidak bebas itu bukan pemimpin namanya. Ini zaman demokrasi.”

“Tahu apa kamu tentang demokrasi. Kamu itu salah! Siapa yang ngajarin begitu? Pemimpin itu justru orang yang paling sibuk sedunia. Buat seorang pemimpin tidak ada hari libur. Karena semua hari-harinya itu adalah kerja dan kerja. Paham!”

“Itu pemimpin bego.”

Uhhh….” Saya geram.

“Ruq sayang…, Ayo ke sini nak. Jangan ganggu kakak-kakanya!” Suara Ibuku terdengar sayup dari arah dapur.

“Cepat pergi sana!”

“Bentar lagi Bu…, Eh dengerin ya, Kak! Kalau BBM naik, rakyat antrian beli sampai satu kilometer, sedangkan pemimpin tinggal makan saja kan. Yang masak rakyat. Masak pemimpin masak sendiri, itu lucu. Terus kalau rakyat dijeblos ke penjara Cuma karena nggak jadi maling ayam, pemimpin yang makan uang rakyat puluhan miliar malah diampuni dan dijadikan pahlawan. Itu kan enak, Kak.”

“Tapi tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang pemimpin itu sangat besar, Dik. Disamping harus memikirkan nasi dan lauk pauk rakyatnya, ia jga harus menyelesaikan utang dan ribuan kasus yang menimpa negerinya, seperti sekarang ini."

“Pemikiran Kakak terlalu pendek sih, bukannya ada menteri yang mengurus masing-masing tugasnya. Sedangkan pemimpin Cuma simbol doang. Ibarat patung pancoran, gituu.”
“Uuhhhgg...”
Emosiku semakin memuncak. Kulihat Fahmi dan Vivi sudah tidak sabar ingin menanggapi penjelasan adikku. Tapi Faruq langsung memotongnya.

“No, no no. Kalian tidak bisa menghalangi jalanku untuk menjadi pemimpin masa depan, karena sejak permasalahan BBM tahun lalu, saya sudah memikirkan hal ini secara masak-masak. Tekadku sudah bulat. Merdeka! Merdeka!”

“Dik dik, Kakak senang kamu punya cita-cita tinggi, asalkan jalannya benar. Jangan cuma mau ambil yang enaknya saja, dosa.”
“Stop! Faruq tidak butuh ceramah. Faruq punya pekerjaan yang lebih penting.”
Serentak teman-temanku dibuat bingung.

Faruq mulai beraksi. Ia meloncat-loncat ke sana ke mari. Sesekali berkeliling-keliling sambil bernyanyi potong bebek angsa. Mengitari ruang tengah hingga ke arah teras. Entah apa maksudnya. Dan tak berapa lama kemudian ia duduk diam di depan televisi berukuran 21 Inci di sudut ruang tamu. ‘STAR’ permainan PS pun dimulai.

Melihat tingkah adikku, saya dan teman-teman cuma bisa menggeleng-gelengkan kepala dan mengurut dada. Sebab berdebat dengan wong licik zaman sekarang ini adalah sama saja. Sama-sama dibuat pusing, karena terlalu banyak menguras otak. Sedangkan hasilnya tidak pernah menciptakan satu perubahan apapun. Urusan argumen, manusia politik kita berbondong-bondong untuk sekedar memamerkan gigi mereka masing-masing ke khalayak ramai. Sedangkan prakteknya tidak pernah kelihatan di permukaan. Itu berarti sama saja dengan ocehan panjang adikku yang masih merangkak di kelas 4 Sekolah Dasar.(*)

*)Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Semester IV



AddThis Social Bookmark Button
Email this post


0 komentar: to “ Bocah Reformasi

Your Ad Here

Design by indramunawar@gmail.com